Selasa, 20 Desember 2011

Romantika Ki Mas Tanu

Paguneman Tanujiwa
Jeung Haji Prawatasari

RÉGENT atawa Bupati Tanujiwa timbul sipat héroikna dina ngabéla bangsa, sanggeusna didatangan ku Haji Prawatasari ka markasna di Kampung Baru. Harita inyana keur reureuh di kamarna, ujug-ujug ngabedega Haji Prawatasari, teuing ti mana asupna. Tanujiwa rada geumpeur sabab geus kadéngé béja yén pangagung pribumi anu biluk ka Kumpeni mah, pasti dipaténi.
Tapi tétéla Haji Prawatasari nyulundup ka jero kamar Tanujiwa sacara demit, lain rék ngakalakeun jiwana.
“Andika boga kakuatan pikeun buméla ka bangsa sorangan, lamun mah enya andika cicing di dieu maksudna keur kapentingan bangsa sorangan,” saur Kangjeng Haji. Ki Mas Tanu acan leungit geumpeurna. Manéhna masih kénéh mikir, kumaha carana Haji Prawatasari bisa nyulusup ka jero kamar, padahal di éta lingkungan rajeg nu jaga. Jadi, lamun mah Haji Prawatasari niatna rék ngakalakeun, geus moal bisa kumaha.
“Kumaha, sanggup teu bajoang jang kapentingan Sunda tapi moal nampa pamulang tarima, kajaba pangjejeléh jeung panghina?” saur Kangjeng Haji deui.
Kalawan teu mikir dua tilu kali, Tanujiwa némbalan: “Sanggup!” pokna tatag.
“Anjeun geus aya di jero kakuatan musuh, kudu bisa miteskeun éta kakuatan. Carana, anjeun kudu daék jadi juru telik, katut mantuan ngancurkeun kakuatan Kumpeni ti jero,” saur Kangjeng Haji. Ki Tanujiwa unggut deui baé.
“Ieu téh ukur paguneman urang duaan. Montong deungeun, dalah indung suku gé montong dibéjaan.”
Ki Tanujiwa unggeuk.
“Beuki sia dijejeléh ku urang Sunda, beuki sia dipercaya ku Kumpeni. Wayahna, tepi ka sia kojor, boa tepika ahir jaman, ngaran sia tetep jadi geuleuh keumeuhna urang Sunda. Ieu keur kapentingan perjoangan. Sanggup?”
“Sanggup.”
Geus kitu duaan badami néangan réka perdaya sangkan urang Sunda beuki geuleuheun jeung Kumpeni beuki percayaeun ka Ki Tanujiwa. Nya ti kamar ieu nu aya di Kampung Baru lahirna lalaguan “Ayang-ayang-gung” téh. Tata rumpakana lain anu kiwari dipiwanoh da nu ayeuna mah ladang nyieun deui dina abad 19 téa. Tapi sakumaha ceuk paguneman harita, hasilna jang Ki Tanujiwa mémang teu robah. Tug ka kiwari, Tanujiwa tetep dianggap jalma anu hianat ka bangsa. Nu nyusun sajarah Bogor luareun Kumpeni, tetep teu ngaku Tanujiwa salaku pendiri Bogor. Bupati munggaran Kabupatian Bogor, nu dicatetkeun, lain Tanujiwa."*****
[ Read More.. ]

PERANG BUBAT DEUI

Kirim :Tirta Guntara
abdi pernah nyerat perkara Perang Bubat di Kaskus. kieu yeuh caritana...

Hayam Wuruk sudah masuk pada usia dimana ia harus memiliki permaisuri. Ia mulai mencari permaisuri yang cocok. namun ia tidak menemukan satupun yang cocok. lalu ia mengirimkan seorang pelukis ke Kawali unuk melukiskan wajah Putri Kadatuan di Kawali yang terkenal cantik. ternyata si putri dapat memikat hatinya. lalu ia kirim seorang utusan untuk melamar sang putri. dari sini mulailah Gajah Mada mencium adanya peluang untuk mempengaruhi Sunda. lalu ia membujuk sang Raja agar pernikahan dilakukan di Majapahit. sang Raja mengikti nasihat sang mahapatih. lalu datanglah utusan dari majapahit menemui sang Maharaja Sunda yang bernama Linggabuanawisesa. Linggabuanawisesa setuju atas penawaran ini. alasannya demi memperkuat hubungan Sunda-Majapahit yang sedang redup. belum lagi memang sang putri tidak mau menikah dengan orang Sunda. saaat itu Linggabuanawisesa meminta saran pada kerabat dan pejabat-pejabat kadatuan. adiknya Hyang Bunisora mencuriagai pernikahan ini. karena menurut adat, perkimpoian dilangsungkan di tempat mempelai putri. Bunisora menganjurkan menolak lamaran ini. namun sang Maharaja tetap menyetujui pernikahan ini. akhirnya berangkatlah mereka ke Majapahit. begitu sampai di Bubat, mereka mendirikan kemah. mereka mengirimkan utusan ke majapahit, untuk memberitahukan bahwa sang putri ada di bubat meminta dijemput oleh Raja Majapahit. utusan sunda tidak langsung berurusan dengan Hayam Wuruk. namun ia berurusan dengan Gajah Mada. Gajah Mada menganggap bahwa sang Maharaja harus mengantarkan sang putri ke keraton. namun mengantarkan sang putri ke keraton berarti penyerahan kedaulatan sunda dan mempersembahkan sang putri sebagai upeti. tentunya sang utusan sunda marah karena ini tidak sesuai dengan perjanjian asal. alhasil disampaikanlah berita ini pada Maharaja sunda. Linggabuanawisesa murka atas kebijakan Majapahit. ia meminta pendapat para satrianya. mereka setuju untuk bertempur habis-habisan demi mempertahankan kehormatan. meski mereka tahu bahwa mereka tidak akan menang. semua rombongan sunda bertarung termasuk sang putri. akhirnya para orang Sunda bertempur habis-habisan. dalam pertempuran, Citraresmi sempat melukai Gajah Mada dengan kerisnya. dari pertempuran tersebut yang tersisa dari pihak Sunda hanya satu orang. meskipun menang tetapi kemenangan Majapahit merupakan kemenangan phyrric. Hayam Wuruk tidak tahu menahu atas masalah ini. saat ia mempertanyakan sang putri,ternyata sang putri sudah meninggal. sang Prabu sangat kecewa akan hal ini. ia pergi untuk memberitahukan berita ini sekaligus meminta maaf pada kadatuan Kawali. setelah mendengar kabar ini, Hyang Bunisora langsung mendirikan pemerintahan darurat. karena sang pewaris, Niskala Wastukancana belum cukup umur. sedangkan Gajah Mada, diperkirakan ia tetap menjabat namun ia tidak lagi aktif karena ia terluka oleh keris milik Citraresmi.******
[ Read More.. ]

‎"Jejak" Raja Hayam Wuruk Ditemukan di Majalaya

KECAMATAN Majalaya di Kab. Bandung ternyata menyimpan sejarah tentang Kerajaan Majapahit. Daerah yang selama ini dikenal sebagai Kota Dolar karena menjadi sentra industri ini diduga pernah menjadi tempat pengasingan Raja Majapahit, Hayam Wuruk.
Dugaan tersebut didasarkan pada penemuan mahkota Ulun Umbul di daerah Leuwidulang, Majalaya. Mahkota tersebut diduga milik Hayam Wuruk. "Mahkota Ulun Umbul ditemukan masyarakat sudah cukup lama. Untuk mengetahui sejarah dan keasliannya, kami telah mengirimkan foto mahkota ini ke Balai Penelitian Arkeologi," ujar Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kab. Bandung, Dedi Sutardi kepada "GM" di ruang kerjanya, Selasa (7/6), Meurut Dedi, dari hasil penelitian diketahui mahkota bukan peninggalan Kerajaan Sunda melainkan kerajaan di Jawa. "Mahkotadiprediksi milik kerajaan di Jawa karena Kerajaan Sunda tidak menggunakan mahkota. Tapi untuk memastikan kerajaan mana, perlu ada penelitian lagi dari ahli sejarah dan arkeologi," katanya.
Meski belum dipastikan peninggalan kerajaan mana, lanjut Dedi, penuturan para tokoh dan sesepuh di Majalaya, mahkota ini diduga milik Raja Hayam Wuruk. Bahkan di Majalaya ada beberapa tokoh yang mengenal asal-muasal cerita tersebut, meski penyebarannya hanya dari mulut ke mulut. Cerita tentang Raja Hayam Wuruk sampai di Majalaya, bermula ketika Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 memerangi sejumlah kerajaan, termasuk Kerajaan Sunda untuk menguasai nusantara. Saat memerangi Kerajaan Sunda yang dikenal dengan Perang Bubat, Hayam Wuruk merasa bersalah telah menyerang Kerajaan Sunda. Dia berpikir untuk menaklukkan Kerajaan Sunda bukan lewat peperangan.
Ketika Kerajaan Majapahit mulai runtuh, untuk menghilangkan penyesalan ini Raja Hayam Wuruk mengasingkan diri di suatu daerah yang disinyalir sekarang disebut Majalaya.
Dalam pengasingan ini, Hayam Wuruk menjadi masyarakat biasa. Meski sudah tidak menjadi raja, namun jiwa dan pengabdiannya kepada tanah air tidak luntur hingga masyarakat menyebutnya Ulun Umbul. Makanya ketika mahkota milik Hayam Wuruk ini ditemukan, masyarakat menyebutnya mahkota Ulun Umbul.
Bukti lain adanya peninggalan Raja Hayam Wuruk di Majalaya adalah situs Batu Talun. Menurut cerita Batu Talun adalah batu tempat Raja Hayam Wuruk dan Putri Diah Pitaloka menyembah.
Lebih lanjut Dedi menuturkan, Pemkab Bandung menjaga agar mahkota Ulun Umbul tidak hilang atau rusak, walaupun sekarang disimpan masyarakat. (dadang setiawan/"GM")**
[ Read More.. ]

Sumber Tradisional Sejarah Sunda

Hana nguni hana mangke – Tan hana nguni tan hana mangke – Aya ma baheula hanteu teu ayeuna – Henteu ma baheula henteu teu ayeuna – Hana tunggak hana watang Hana ma tunggulna aya tu catangna ….. Tiada masa kini tanpa ada masa lalu – masa kini adalah peninggalan masa lalu (Wasiat dari : Galunggung)
Menurut Husein Jayadiningrat, di Indonesia sudah sejak lama berkembang tradisi penulisan sejarah. Di Jawa misalnya, tradisi itu menghasilkan sejumlah karya “Kisah Sejarah” yang disebut babad sejarah, dan serat kanda; di dunia Melayu namanya dikenal sebagai hikayat, sejarah , tutur dan salsilah. Dalam pada itu masyarakat Sunda mengenal karya tradisional itu sebagai sajarah, carita dan wawacan (1965:74).
Sepanjang data yang terkumpul dapat diketahui bahwa karya “kisah sejarah” tertua yang diwariskan leluhur Sunda hingga saat ini adalah CP (Carita Parahyangan) yang dituliskan sekitar tahun 1580 Masehi (Aca 1968). Dari masa yang lebih kemudian muncul karya yang lain, di antaranya adalah CRP (Carita Ratu Pakuan) (Aca 1970), Carita Waruga Guru (Pleyte 1911) dan Carita Waruga Jagat (Edi S. Ekajati dkk 1985:12).

Dalam keempat karya itu, peristiwa dan kisah sejarah yang diabadikan pada umumnya terjadi pada masa kekuasaan kerajaan Sunda (atau Pajajaran). Walaupun CP menyebutkan kata selam “Islam”, nama itu justru digunakan sebagai salah satu kata kunci untuk mengakhiri kisah sejarah kekuasaan raja-raja Sunda. Artinya, kisah itu berhenti dengan dikalahkannya Sunda oleh pasukan Islam dalam tahun 1579. Demikian juga dalam ketiga karya yang lain, kisah sejarah itu hampir utuh berbicara tentang Negara (dan masyarakat) Sunda sebelum Islam. Namun tidak selamanya demikian Cerita Dipati Ukur (Edi S. Ekajati 1982), misalnya, justru berkisah tentang tokoh dan peristiwa sejarah yang terjadi di tanah Sunda pada paruh awal abad ke-17. Hal itu bukan hal yang aneh, apalagi jika dihubungkan dengan pendapat Aca (1973) yang menyatakan bahwa istilah carita lebih dulu digunakan dalam tradisi tulis Sunda, dalam makna yang sama dengan babad.
Babad dan sejarah sebagai istilah digunakan dalam tradisi tulis Sunda lebih kemudian. Bahkan babad yang menurut Darusuprapta bermakna ‘jenis cerita yang bernilai sejarah atau dekat hubungannya dengan sejarah’ (Edi S. Ekajati dkk 1985) itu, pada kurun waktu tertentu digunakan hampir “tanpa kendali”. Bukan hanya kisah, tokoh, peristiwa, atau ihwal sejarah yang diabadikan dalam babad. Bagaimana cara menanam enau (Babad Kawung Baduy, Babad Kawung galuh, Babad Kawung Lebak), misalnya, juga diabadikan dalam babad. Demikian juga halnya dengan dengan sajarah, isinya yang walaupun pada umumnya berkenaan dengan masa sesudah Islam menyebar, ada juga yang berkisah mengenai tokoh, peristiwa, dan ihwal dari masa sebelumnya.
Dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa penggunaan ketiga istilah itu, tidak terutama mengacu kepada isinya, melainkan lebih kepada masa dan lingkungan penulisannya. Carita pada umumnya dari masa sebelum Islam, dan berlanjut pada masa sesudahnya. Babad digunakan setelah pengaruh Jawa merasuk dalam kehidupan masyarakat dan budaya Sunda (sejak awal abad ke-17), sedangkan hikayat berasal dari masa ketika Islam sudah kukuh dalam hidup dan kehidupan masyarakat Sunda.
Isi Sumber Tradisional Sejarah Sunda
Berdasarkan batasan umum yang secara sederhana dikemukakan itu, sumber tradisional sejarah Sunda dengan demikian dapat dibagi ke dalam dua babak penulisan. Babak pertama adalah yang berasal dari masa sebelum Islam, atau ketika Islam belum mengakar dalam hidup dan kehidupan masyarakat atau dari tempat-tempat yang masih belum tersentuh oleh Islam. Secara umum babak ini ditandai dengan karya yang menggunakan istilah carita, sedangkan waktunya pada umumnya berasal dari sebelum abad ke-17. Karya yang mewakili itu antara lain SSKK (1518), Carita Warga Jagat, dan CRP.

Sumber sejarah dari kelompok itu pada umumnya berbicara mengenai kehidupan masyarakat yang belum tersentuh oleh pengaruh Islam. Salah satu penulisan naskah yang berkembang adalah yang dikenal sebagai Kabuyutan Ciburuy, di daerah Garut sekarang. Dari kabuyutan itulah berasal puluhan naskah lontar (gebang, nipah) yang kemudian menjadi khazanah Perpustakaan Nasional (Holle 1867). Naskah Ciburuy pada umumnya memuat ajaran keagamaan (Hindu dan Buda), pendidikan, akhlak dan sejarah. Diantara naskah-naskah itu yang sudah “selesai” digarap hingga sekarang antara lain CP (Aca 1968), CRP (Aca 1970), SSKK (Aca 1973), Amanat dari Galunggung (Aca dan Saleh Danasasmita 1981), Sewakadarma (Saleh Danasasmita dkk 1978), Serat Dewabuda (Ayatrohaedi 1986), Kawih Paningkes (Ayatrohaedi dkk 1987) dan Jatiniskala (Ayatrohaedi 1994).
Setelah pengaruh Islam mulai mengakar dalam kehidupan masyarakat Sunda, tradisi tulis Sunda memperlihatkan pengaruh yang kuat dari Islam. Hal itu antara lain terlihat dalam naskah Carita Waruga Guru yang dituliskan pada kertas dari awal abad ke-18 (Noorduyn 1971:153).
Selain mulai digunakannya aksara dan sejumlah kata Arab, naskah masa Islam juga menonjol isinya yang mengandung sejumlah hikayat dan kisah yang didasarkan kepada sejarah dan ajaran Islam. Diantara tokoh Islam yang paling banyak dikisahkan dalam sastra tulis Sunda masa itu adalah para nabi dan Amir Hamzah, tokoh yang juga banyak dikisahkan dalam sastra Melayu dan Jawa dari masa yang sama (Ayatrohaedi 1980:150). Kandungan naskah dari masa awal awal pemengaruhan dan penyebaran Islam hingga masa yang lebih kemudian, antara lain berupa agama, susila, hukum, adat istiadat, mitologi, pendidikan, pengetahuan, primbon, sastra, sastra sejarah, dan seni (Edi S. Ekajati dkk 1987:4).
Naskah agama yang terdapat dalam khazanah Perpustakaan Nasional, Jakarta, berdasarkan pencatatan terakhir yang pernah dilakukan, berjumlah 44 buah. Museum Cigugur (Kuningan) 9, Museum Pangeran Geusan Ulun (sumedang) 3, Museum Negeri Jawa Barat Sri Baduga (Bandung) 1, sedangkan yang tersebar di berbagai tempat di luar negeri (umumnya tentang tasawuf dana sejarah para nabi) berjumlah 232. Di samping itu masih ada sejumlah naskah yang masih dimiliki dan dipelihara oleh pemilik atau ahli warisnya (Edi S. ekajati 1987). Dengan demikian jumlah semuanya ada 289 buah.
Dalam pada itu, naskah yang berkenaan dengan sejarah, terutama sejarah tokoh Islam dan para nabi, juga cukup banyak ditemukan. Hasil pencatatan yang sama mendaftarkan naskah sastra sejarah dan sejarah yang tersimpan di Perpustakaan sebanyak 120 buah. Di berbagai tempat di luar negeri jumlahnya 148 buah. Berarti jumlah semuanya ada 268 naskah, kedalamnya termasuk sejarah lokal dan yang tidak bernafaskan Islam.

Buku Sejarah Karya “Panitia” Hariwang Wangsakerta
Dalam pada itu, temuan sejumlah naskah sejarah karya Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawannya (NPW) dari Cirebon, merupakan suatu hal yang menarik untuk dicatat. Jumlah karya Wangsakerta yang sudah ditemukan hingga saat ini ada 50 jilid, sekarang semuanya tersimpan di Museum Negeri Jawa Barat Sri Baduga (Edi S. Ekajati dkk. 1987: 167-81). Kemenarikan itu disebabkan antara lain oleh sistematika penyusunannya, yang dimulai dengan pengumpulan bahan, pembahasan dalam suatu musyawarah, pengajuan hasil penulisan untuk dibahas lebih lanjut (ditolak atau diterima), baru penyusunan akhir. Naskah-naskah itu disusun dalam waktu 21 tahun (1677-98), sedangkan pelindung dan pemberi restu atas kegiatan kesejaharahan itu adalah Sunan Amangkurat II dari Mataram, Sultan Ageng tirtayasa dari Banten, dan kedua sultan Cirebon, yaitu Sultan Sepuh I dan Sultan Anom I; gagasan awalnya berasal dari Panembahan Girilaya (ayah Sultan Sepuh I, Sultan Anom I, dan Pangeran Wangsakerta), raja Cirebon yang “ditawan” Sultan Mataram, yang mendambakan adanya sebuah “buku pegangan bagi mereka yang ingin mengetahui kisah para leluhur dan daerahnya sejak masa lalu”. Selain itu, Wangsakerta menyatakan bahwa apa yang dituliskannya itu merupakan “pengembangan” karya pamannya, Pangeran Arya Carbon, yang meninggalkan naskah CPCN dalam tahun 1720 (Atja 1986).
Untuk mewujudkan amanat itu, Pangeran Wangsakerta melakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut:
1. Menyusun “panitia” untuk menyelenggarakan musyawarah di Cirebon
2. Menyelenggarakan musyawarah dengan para peserta terdiri atas para ahli dan pakar yang berasal dari seluruh Nusantara; dan
3. Menyusun kisah berdasarkan asupan selama musyawarah dalam bentuk pustaka yang siap baca (Ayatrohaedi 1989:10)

Panitia yang langsung bertanggung jawab kepada Sultan Sepuh dan Sultan Anom itu juga menentukan, siapa saja ahli dan pakar yang patut diundang ke musyawarah itu. Pada dasarnya panitia menganggap bahwa tiap daerah Nusantara harus diwakili, dan karena itu mereka diundang. Anggota panitia intinya yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta itu terdiri atas tujuh orang jaksa pepitu (mereka turut hadir dalam dan menandatangani perjanjian dengan Kumpeni, 7 Januari 1681) sebagai pelaksana. Mereka adalah Raksanagara yang bertugas sebagai pengumpul dan penyaring bahan naskah dan pengatur musyawarah, Anggadiraksa yang bertugas sebagai wakil penulis merangkap bendahara; Purbanagara yang bertugas sebagai dan penyaring bahan naskah; Singanagara yang bertugas sebagai penanggungjawab keamanan, Anggadipraja yang bertugas sebagai duta keliling, mengirim undangan, dan menjadi jurubahasa; Anggaraksa yang bertugas sebagai penanggungjawab konsumsi; dan Nayapati sebagai penanggungjawab pemondokan dan angkutan (kys.:11).
Dalam musyawarah itu para peserta dibagi ke dalam lima sangga ‘kelompok’; menurut Wangsakerta tikai pendapat dalam tiap sangga sering “sangat panas” sehingga harus diingatkan bahwa tujuan mereka bermusyawarah adalah untuk menghasilkan “buku pegangan”, bukan untuk bertengkar, apalagi berkelahi. Dalam musyawarah itu dilakukan tahap pembahasan dan penulisan: (a) tiap anggota sangga menyusun/menyajikan kisah daerahnya masing-masing, isinya harus disepakati oleh sidang sangga; (b) hasil musyawarah sangga harus dikemukakan dalam sidang lengkap melalui paujar ‘juru bicara’; (c)” kebenaran” yang disampaikan itu dinilai oleh para penasihat; (d) kecocokannya dinilai berdasarkan isi pustaka yang telah diakui keabsahannya; (e) (setelah disepakati bersama) dibuatkan risalah resminya; (f) dimintakan persetujua/restu dari para sultan penaja; dan (g) dipustakakan (dibukukan) oleh panyurat ‘jurutulis’ dengan tanggungjawab Pangeran Wangsakerta.
Karya Panitia Wangsakerta (yang sudah terkumpul) terdiri atas lima seri karangan, yaitu Nagarakertabhumi (5 naskah), Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (25), Pustaka Pararatwan (10), Dwipantaraparwa (9), dan Carita Parahyangan (5).(Edi s. ekajati dkk. 1988:167). NPW itu sangat menarik, karena apa yang mereka lakukan ternyata “mengikuti” kegiatan penelitian sejarah secara modern; diawali dengan heuristik dan diakhiri dengan historiografi. Namun, tentulah kehadiran naskah-naskah itu tidak untuk ditelan demikian saja, diperlukan kecermatan dan kejelian untuk mengajinya lebih seksama. Yang pasti, ada baiknya jika naskah-naskah itu dijadikan sebagai “berita awal” dalam kegiatan penelitian dan penelitian sejarah yang akan dilakukan (Ayatrohaedi 1988;1989).
Jika ditilik dari jihad pemaparan kesejarahannya, akan nampak sesuatu yang sangat menarik, terutama jika diingat bahwa semuanya itu dituangkan dalam naskah menjelang akhir abad ke-17. Secara keseluruhan, NPW berkisah mengenai “sejarah” Nusantara sejak masa yang paling awal (nirleka) hingga hilangnya kedaulatan Cirebon dalam tahun 1681 (perjanjian dengan Kumpeni VOC mengenai hal itu dilakukan pada tanggal 7 Januari 1681).
Ada beberapa hal yang menarik, baik yang berkenaan masalah rucita maupun masalah kisah itu sendiri.
Dari segi rucita, misalnya, adalah cukup menarik karena naskah itu mengembarkan bahwa pada masa itu Panitia sudah merumuskan pembabakan sejarah Nusantara. Dalam sarga ‘bab’ pertama naskah Pustaka Rajakawasa i Bhumi Nusantara, yang merupakan parwa ‘jilid’ keempat naskah Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Panitia membagi kisah Nusantara ke dalam tiga yuga ‘jaman’, yaitu purwayuga ‘jaman awal’, rajakawasa yuga ‘jaman kekuasaan para raja’, dan duhkabharayuga ‘jaman kesengsaraan’. Purwayuga meliputi seluruh jaman nirleka, rajyakawasayuga mencakup kurun sejak adanya kerajaan di Nusantara hingga akhir kekuasaan Sultan Agung di Mataram (1645), dan duhkabharayuga mencakup masa sejak “si bule” turut campur dalam kekuasaan di Nusantara.
Mengenai kisah Nusantara yang disajikan dalam NPW, Panitia menampilkan beberapa hal yang menarik. Menurut pengamatan, ada empat “kebenaran” kisah Nusantara dalam naskah-naskah itu yang perlu dicatat, yaitu:
1. “Kebenaran” dalam naskah yang seutuhnya sama dengan “kebenaran” kita selama ini sebagaimana nampak pada nama-nama tokoh dan daerah;
2. “Kebenaran” dalam naskah yang belum menjadi milik kita, berupa nama-nama tokoh atau daerah yang belum pernah kita ketahui, berbagai peristiwa yang terjadi, dan masa pemerintahan setiap raja yang cukup jelas titimangsanya;
3. “Kebenaran” naskah yang melalui pembandingan dengan sumber-sumber lain akan memungkinkan kita untuk merenungkan kebenarannya; dan
4. “Kebenaran” dalam naskah yang berlainan dengan “kebenaran” kita sebagai panfsir (Ayatrohaedi 1989 : 16-7)
Sehubungan dengan kegiatan Panitia Wangsakerta menyusun kisah Nusantara, sampai saat ini belum pernah ditemukan sumber lain. Satu-satunya sumber yang ada mengenai kegiatan itu justru karyanya, yang antara lain juga membicarakan alasan, tujuan, dan kerja Panitia melaksanakan amanat Panembahan Girilaya itu. Itulah sebabnya, walau bagaimana pun, sangat diperlukan kehati-hatian dalam kita mengaji semua karyanya itu. Selain pengajian mengenai hal-hal yang berkenaan dengan isi karyanya, diperlukan pengujian jasadi terhadap naskah-naskahnya. Pengujian itu akan sangat besar manfaatnya, antaral ain untuk mengetahui apakah bahan (kertas, tinta), aksara, dan gaya bahasa yang digunakan benar-benar berasal dari masa yang bersangkutan atau bukan.
Hal lain adalah yang berkenaan dengan “musyawarah sejarah” yang diselenggarakan di Cirebon itu. Jika benar musyawarah itu pernah ada, kapankah kira-kira hal itu berlangsung? Dalam hal ini ada beberapa patokan yang dapat dijadikan pertimbangan, mengingat Wangsakerta sendiri tidak menyebutkan kapan kegiatan itu dilangsungkan.
Buku pertama dari semua rangkaian tulisan sejarahnya, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1, selesai dipustakan pada tanggal 1 paroterang, bulan Srawana tahun 1599 Saka atau tanggal 25 Juni 1677. Itu berarti bahwa musyawarah itu harus sudah selesai dilaksanakan beberapa waktu sebelumnya. Jika kita perhatikan betapa banyaknya hasil musyawarah itu sebagaimana termuat dalam naskah-naskahnya, ditambah dengan masalah yang muncul selama waktu penyusunannya, mungkin sekali musyawarah itu berlangsung dalam triwulan pertama tahun 1677.
Penulisan hasilnya hingga menjadi naskah memang baru dilakukan kemudian oleh para anggota jaksa pepitu; mungkin oleh Raksanagara dan Anggadiraksa yang menjadi penulis dan wakil penulis selama musyawarah berlangsung. Satu hal dapat dipastikan, menilik gaya tulisannya, naskah-naskah itu haruslah dikerjakan oleh lebih dari satu orang (Saleh Danasamita 1968 : 17).
Jika benar demikian, mungkin sekali musyawarah itu sudah dilangsungkan sebelum Pangeran Mertawijaya dan Kertawijaya dinobatkan sebagai pengganti Panembahan Girilaya menjadi penguasa Cirebon. Menurut kisah yang sudah dianggap benar hingga saat ini, setelah ayahnya meninggal, kedua pangeran itu tetap “tidak diijinkan pulang” oleh Sunan Amangkurat I. Mereka baru dapat meninggalkan Mataram setelah pasukan Trunajaya berhasil merebut Ibukota Karta dan membawa kedua pangeran tersebut ke Kediri. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 12 Juli 1677, dan para pangeran penguasa Cirebon itu diwisuda sebagai penguasa Cirebon oleh Sultan Ageng tirtayasa dari Banten.
Jika dugaan tentang waktu penyelenggaraan musyawarah itu benar (awal 1677), akan muncul masalah baru. Menurut Wangsakerta, Sultan Sepuh memberikan amanat waktu musyawarah itu berlangsung. Padahal, menurut perhitungan, ketika itu ia masih berada di Mataram. Dalam hal ini ada dua kemungkinan yang dapat dipertimbangkan: Pertama musyawarah itu telah berlangsung lama sebelum Trunajaya merebut ibukota Kartasura sehigga memungkinkan Pangeran Mertawijaya dan Kertawijaya “minta cuti” untuk pulang ke Cirebon, dan diperkenankan. Kedua, mungkin ia tetap berada di Karta, sedangkan amanatnya disampaikan oleh Wangsakerta (tertulis). Hal itu tidak mustahil. Mengingat hingga saat itu Wangsakerta sudah 17 tahun menjadi pelaksana pemerintahan sehari-hari, mewakili ayahnya selama 12 tahun (1650-62), dan mewakili kedua abangnya yang tetap ditahan di Mataram selama 5 tahun (1662-7). Dengan demikian, ia tidak canggung lagi bertindak, baik sebagai tuan rumah maupun sebagai wakil dari kedua orang abangnya (kys:19).
Masalah yang juga muncul sehubungan dengan musyawarah itu adalah yang menyangkut bahasa. Bahasa apakah yang digunakan sebagai bahasa pengantar atau bahasa resmi dalam pertemuan itu? Mungkin sekali dalam pertemuan itu digunakanlebih dari satu bahasa, mengingat ada diantara jaksa pepitu yang di kepanitiaan bertugas sebagai jurubahasa. Jika melihat daerah asal para peserta, nampaknya sangat mungkin bahasa pengantar yang digunakan sekurang-kurangnya ada dua, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Bahasa Jawa digunakan karena kegiatan itu dilangsungkan di salah satu pusat kebudayaan Jawa; bahasa Melayu digunakan karena bahasa itu menurut riwayatnya selam lama berfungsi sebagai basantara di kepulauan Nusantara. Namun, bagaimanapun, kajian lebih mendalam mengenai hal ini akan sangat membantu menjelaskan masalah.
Demikian perkenalan singkat yang dapat ditampilkan berkenaan dengan sumber tradisional sejarah sunda khususnya, dan Jawa Barat umumnya ini.

Rujukan
Aca (=atja)
1968.
Tjarita Parahyangan: Titilar Karuhun Urang Sunda ti Abad Ka-16, Bandung: Jajasan Kebudayaan Nusa larang
1970.
Tjarita Ratu Pakuan. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah
1973.
Siksa Kandang Karesian. Bandung : Lembaga Kebudayaan UNPAD
1986.
Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah. Cetakan kedua (dengan perbaikan menyeluruh). Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Aca dan Saleh Danasasmita
1981a Amanat dari Galunggung. Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong Garut. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
1981b Sanghyang Siksakandang Karesian: Naskah sunda Kuna tahun 1518 Masehi. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Ayatrohaedi
1980.
“Tradisi sastra Sunda Buhun”, dalam Meutia F. Swasono, Wardiningsih Soerjohardjo, dan Ayatrohaedi (redaksi), Yang Tersirat dan Tersurat: Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1940 – 1980: 143-52. Jakarta: Fakultas Sastra UI
1986.
Serat Dewabuda. Laporan Hasil Penelitian untuk Proyek Penelitian Kebudayaan Sunda. Tidak diterbitkan.
1986.
“Kebenaran Sejarah” Naskah-naskah Panitia Wangsakerta. Makalah
disampaikan pada Diskusi Ilmiah Keabsahan Naskah-naskah Sumber Sejarah Tarumanagara, diselenggarakan oleh Universitas Tarumanagara,
Jakarta 17 September 1988.
1986.
Naskah dan Sejarah. Makalah disampaikan pada Gotrasawala (=Seminar) Pengajian Naskah-naskah Kuna Jawa Barat sebagai sumbangan Kepada Sejarah Nasional, diselenggarakan oleh Universitas Pasundan, Bandung 23 Januari 1989.
1994.
Jatiniskala: Pengantar, Alihaksara, dan Terjemahan Naskah K.422 Khazanah Museum Nasional. Laporan Penelitian untuk Fakultas Sastra UI, Depok. Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Ahmad Darsa
1986.
Kawih Paningkes dan Jatiniskala. Laporan penelitian untuk Bagian Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda, Bandung. Edi S. Ekajati (=Ekadjati)
1982.
Ceritera Dipati Ukur: Karya sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya. Edi S. Ekajati (editor)
1986.
Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan The Toyota Foundation. Edi S. Ekajati, Wahyu Wibisana, Ade Kosmaya Anggawisastra
1985.
Naskah Sunda Lama Kelompok Babad. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Holle, K.F.
1867.
“Vlugtig berigt omtrent eenige lontar-handschriften afkomstig uit de Soendalanden”, TBG 15
Husein Jayadiningrat (=Hoesein Djajadiningrat)
1965.
“Local traditions and the Study of Indonesian History”, dalam Sujatmoko (=Soedjatmoko), Mohammad ali, g.J. resink, dan G.McT. Kahin (eds), An Introduction to Indonesian Historiography: 74-86. Ithaca-New York: Cornell University Press.
Noorduyn, J
1970.
“Traces of An Old Sundanse Ramayana Tradition”, dalam Indonesia
12: 151-7
Pleyte, C.M.
1911.
“Het jaartal op den Batoe Toelis nabij Buitonzorg; Eene bijdrage tot de kennis van het oude soenda”, TBG 53: 155-220.
Saleh Danasasmita
1985.
Pangeran Wangsakerta sebagai Sejarawan Abad XVII. Makalah disampaikan Pada Pertemuan Ilmiah tentang Kebudayaan sunda; diselenggarakan oleh Bagian Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda , Lembang 10 – 12 Maret 1986
sumber tulisan : http://gapurasunda.multiply.co/
[ Read More.. ]

Rajah Sliwangi

Amit ampun nun paralun ka gusti nu maha suci
Neda pangjiad pangraksa para abdi2 seni
Seja ngaguar raratan, titis waris nini aki

Ngembatkeun jalan raratan ka tampian geusan mandi
Ka leuwi sipatahunan leuwi nu ngaruncang diri , diri anu sakiwari
Rek muru lurung tujuh ngaliat ka pajajaran bongan hayang pulang- anting
Padungdengan- padungdengan jeung usikna pangancikan..pun sampun...

Sampurasun ka rumuhun ka hyang prabu siliwangi
Nu murba di pajajaran, pangauban seuweu siwi,
nu gelar di tatar sunda muga nyebarkeun wawangi.
[ Read More.. ]